Penulis : Andi Walinono
Seorang pengemis tua berjalan menelusuri trotoar sebuah kota yang sangat ramai. Pengemis tua itu mengenakan baju yang compang-camping. Matanya yang kuyu, kulitnya yang mengerut, baunya menyengat ketika arah angin bertiup. Namun setiap hari ia tak lupa mengingat dan bersyukur kepada sang Pencipta, saat ia disuruh memungut ceceran sisa nasi yang dibuang oleh tukang warung ataupun orang sudah makan di warung. Terkadang dicaci maki, dihina dan perlakuan kasar yang tidak manusiawi. Meskipun demikian perlakuan-perlakuan seperti itu kepada dirinya, ia tidak pernah merasa sakit hati, benci atau dendam. Yang ia pikirkan dalam benak adalah banyaknya manusia-manusia yang diciptakan dengan sesempurnah itu oleh sang Pencipta. Mereka hidup dalam kekayaan, kemewahan, kecantikan, kegagahan. Banyak diantaranya sudah lupa takabbur dan durhaka bahkan terkesan memanusiakan binatang dan membinatangkan manusia.
Suatu waktu ketika dia duduk-duduk beristirahat di bawah sebuah pohon. Hatinya menjerit, memohon maaf kepada Tuhan dan sekaligus berterima kasih karena ia diciptakan ia sebagai seorang pengemis. Seandainya aia menjadi orang yang kaya, akankah ia berperilaku seperti itu? Dan bagaimana pertanggung jawaban harta itu di depan Tuhan nanti. Ia memiliki prinsip bahwa lebih ia diperlakukan tidak senonoh dari pada ia memperlakukan orang lain yang tidak senonoh. Sore hari telah tiba ia kembali tertatih-tatih pulang ke gubuk tuanya di bawah jembatan. Di situlah ia menghabiskan sebagaian hidupnya. Dingin mencekam, berteman dengan nyamuk-nyamuk yang sopan. Alangkah nikmatnya dia bisa tidur lelap tanpa berutang di bank.
Hujan terus-menerus mengguyur kota itu, hingga air meluap dan menggenangi tempat gubuknya tua itu. Kota itu seperti kota mati setelah dilanda banjir besar. Ia hanya duduk menonton di bibir jembatan melihat-lihat sampah-sampah yang terbawah arus. Tidak lama kemudian secara tidak sengaja tiba-tiba dan tidak terpikirkan sebelumnya, ia melihat kilatan di langit bertuliskan LAILAHA ILLALLAH dan gemuruh membisikkan telinganya kata ”Manusia sudah lupa akan Penciptnya”
Esok harinya ia terbangun dan melihat sekelilingnya sebagai neraka dan terkejut karena semua bangunan jungkir balik dan bergelimpangan manusia seperti sebuah sampah yang berserakan. Sang pemgemis kembali berenung tentang kehidupan ini. Ia sadar di dalam hati berkata, ” Ya Allah apakah ini merupakan hukuman atau pembalasanmu terhadap manusia-manusia yang bermandikan dengan noda-noda dosa. Jika memang demikian, Engkau ya Allah Maha Pengampun, Ampunilah hambamu yang bertingkah demikian! Itu merupakan kehilafan sebagai manusia biasa.
Sang pengemis dengan langkah yang semboyongan menelusuri puing-puing bangunan megah dan kokoh, dengan tarikan nafas seraya berdoa kepada Tuhan agar dapat dia dapat diampuni dosa-dosanya dan sesamanya, baik yang masih hidup terlebih-lebih yang sudah mati. Dia tidak dendam, jengkel dan marah sebagai dendam perlakuan manusia kepadanya dulu. Tetapi sebaliknya sedih dan menangis meratapi nasib sesamanya. Hanya secuil inilah pengorbanan dalam bentuk perasaan yang dapat diperbuat sekaligusd bentuk pertolongan sang pengemis, karena hanya kekuatan itu yang dimilikinya.
Betapa terkejut sang Pengemis Tua ketika matanya sayup-sayup melihat seorang bocah kecil yang lucu kira-kira berumur satu tahun tanpa menangis seakan bermain, bercanda dengan terik matahari di sela puing bangunan. Ia menghampiri dengan hati yang was-was. Ia seakan tak percaya kenyataan di depan matanya. Ia sangat terharu karena bocah kecil itu bisa hidup sedangkan orang dewasa yang kuat saja bayak yang tidak berdaya terbawa banjir. Betul-betul kuasa Tuhan ucapnya dalam hati. Tidak lama kemudian, ia pun mengendong anak kecil itu ke tempat yang lebih aman. Yang ia pikirkan lagi bagaimana cara menghidupi bocal kecil itu? Jangankan segelas susu, sesuap nasi saja untuk dirinya sangat sulit. Tiba-tiba bocah kecil itu menangis tanda bahwa ia sedang lapar. Maka mau tidak mau sang Pengemis itu harus berusaha agar si bocah tidak mati kelaparan. Apa boleh buat, setelah matanya tertuju pada koran yang tersangkut di tiang listrik yang tidak terbawa banjir, timbullah pemikiran untuk memberikan makanan si anak dengan koran. Setelah koran dijadikan bubur, ia menyuapi si bocah itu. Si bocah itu pun merasa kenyang dan bermain-main kembali.
Dua tahun telah berlalu setelah peristiwa itu, ia pun kembali tinggal di gubuk tua yang terletak di bawah kolom jembatan, namun hal itu tidak bertahan lama karena pemerintah menggusur lagi tempatnya. Ia harus cari lagi tempat lain. Ia kerap berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan ditemani oleh anak itu. Seiring dengan perkembangan waktu, anak itu kian hari akan beranjak dewasa. Anak itu telah dianggap sebagai cucunya sendiri, begitu pula dengan anak itu mengaggap sang Pengemis tua sebagai kakeknya. Kini sang pengemis harus bangkit dan berjuang melawan pahitnya kehidupan demi menghidupi anak kecil itu.
Suatu saat awan membias menutup birunya langit. Sejenak atap bumi seperti padang salju terbalik Begitu putih dan bersih kutatap awan hingga mataku lurus membentuk vertikal. Ketika memandang ke langit lagi, tiba-tiba timbul petanyaaan dalam benakku, ” siapakah pa Tua itu sebenanrnya dan mungkinkan aku ini adalah cucunya dan siapa orang tuaku? Kuhela nafas panjang dan kugerakkan kepala kembali menengadah ke langit, semakin kulihat langit tinggi di atas maka semakin jauh aku tersesat dalam mencari asal usulku sebenarnya.
Aku kembali berjalan perlahan. Gesekan demi gesekan kurasakan pada bebatuan. Awan kembali tersingkap, angin menggiringnya ke tepi, matahari kembali memanggang bumi dengan radiasi sinarnya. Dengan sekuat tenaga, aku mengikuti langkah kaki Pengemis Tua yang telah mengasuh dan membesarkanku seperti sekarang ini. Walaupun hidup dengan kemiskinan dan serba kekurangan tatapi ia selalu mengajariku arti kehidupan untuk selalu taat beribadah kepada Tuhan. Setelah menempuh perjalanan panjang kami tiba di suatu tempat yakni di suatu desa terpencil. Di desa itu predikat pengemis berganti menjadi Pa Tua atau Kakek. Di desa itulah Pa Tua pilih sebagai tempat hidup. Karena terlalu kelelahan ia membaringkan tubuhnya di bawah pohon sambil berguman dalam hati bahwa seandainya bukan karena masa depan anaknya tersebut maka baginya menjadi pengemis di kota cukuplah menyenagkan baginya.
Mereka mulai mendirikan gubuk yang terbuat dari bambu dan berdinding kertas karton. Hari-hari dilalui dengan perasaan senang. Pa Tua berkebun dan dibantu oleh anak itu. Hasil kebunnya dijual di pasar. Uang dipakai untuk membeli beras dan kebutuhan hidup sehari-hari, di samping itu pula sebagian disimpang untuk biaya sekolah anak tersebut. Setelah tamat di SD, anak itu berkeinginan melanjutkan di SMP. Walaupun berat permintaan tersebut dikabulkan lagi oleh Pa Tua, karena kebutuhan sehari-hari saja sangat sulit, apalagi usia Pa Tua semakin hari semakin beranjak dan tenaga sudah berkurang. Tiga tahun terlewatkan si anak ini bermohon lagi kepada Pa Tua agar dia dapat melanjutkan pendidikan di SMA. Dengan sangat berat dan rasa kasihan, Pa Tua mengabulkan permohonan si anak tersebut dengan catatan, ia harus berkerja lebih keras membantu Pa Tua berkebun.
Mulai hari ini, dia akan lebih giat bekerja dan belajar. Setiap hari ia berjalan kaki ke sekolah sambil memikul ubi kayu untuk dijual di dalam perjalanan dan untuk kantin sekolah. Hasilnya jualannyalah dipakai membayar biaya sekolah. Tidak terasa waktu terlewatkan dia sudah kelas tiga SMA. Setiap malam ia tidak bisa memejamkan matanya antara mau menyampaikan keinginannya untuk kuliah dan rasa kasihan pada Pa Tua, karena dengan sisa umurnya hanya dihabiskan untuknya. Sepantasnya orang seusia dengan dia, tinggal di rumah saja. Tetapi tidak seperti Pa Tua semangat kerjanya tinggi sekali demi anak itu.
Dengan niat tulus ia menyampaikan permintaan terakhir kepada Pa Tua bahwa setelah ia lulus nanti, ia berkeinginan melanjutkan ke bangku perkuliahan pada fakultas kedokteran. Pa Tua sangat terkejut mendengarkan keinginan itu. Anak muda seusia dengan dia yang orang tuanya dianggap berada memiliki banyak ternak sapi, banyak kebun dan pabrik penggilingan beras, mereka tidak memiliki cita-cita setinggi itu, apalagi hidup kita serba kekurangan antara bumi dan langit. Mereka hanya bermodalkan satu ternak sapi dan satu kebun ubi. Untuk sementara saya belum kabulkan permintaanmu cucuku, saya pikir-pikir dulu, ucap Pa Tua. Mulai hari itu Pa Tua berpikir keras untuk jalan terbaik anak itu. Di satu sisi tidak masuk akal kalau anak itu mau kuliah. Kuliah memerlukan biaya sangat banyak. Sisi lain adalah ia menghargai motivasi anak itu. Pa Tua sangat mengerti, dan tidak mau melukai perasaan anak itu. Pa Tua berniat anak itu tidak tercipta seperti dirinya yang terluntah-luntah bagai manusia yang tak berharga dan sampah di mata orang.
Dengan petunjuk Tuhan, Pa Tua berpikir bahwa langkah, jalan hidup manusia ada di tangan Tuhan, manusia hanya berusaha. Betapa berdosanya Pa Tua jika nasib dan masa depan anak lebih baik, namun Pa Tua yang tidak memberikan kesempatan dan membantunya. Apapun resiko akan saya pikul walaupun sampai perjauangan akhir demi perjuangan hidup. Pada suatu hari Pa Tua memanggil anak itu untuk mengabulkan permohonannya. Anak itu sangat berterima kasih, bersujud dan mencium kaki kakek tua itu. Kakek tua itu satu-satunya permatanya yang sangat disanyangi dan dikagumi. Setelah pengumuman, anak itu lulus terbaik di sekolahnya.
Mendengar si anak itu akan melanjutkan kuliah di perguruan tinggi, maka semua warga masyarakat yang ribut dan jengkel, sinis bahkan mengeluarkan kata-kata yang tak pantas didengar. Meraka mengatakan bahwa hari ini, kakek itu menjual kerbaunya, besok setelah cucunya kuliah, maka dirinya akan dijual pula. Pengusaha kampung mendatangi rumahnya agar si anak itu bekerja saja di sawah dan pabrik penggilingan padinya itu dan akan lebih bagus masa depannya. Namun kakek itu tidak berubah prinsip. Akibatnya orang-orang kampung tidak simpati kepada dia. Mereka katakan kalau suatu saat kakek itu kehabisan bahan makanan dan mati kelaparan, maka kami tidak akan membantu.
Suatu hari, hujan baru saja reda, si anak itu pergi ke pasar seperti kebiasaan memikul ubi kayu untuk dijual. Dalam perjalanan, ia mendapatkan mobil bagus terpeleset bannya pada jalan desa yang licin sehingga mobil itu tidak bisa bergerak. Ia dengan spontan menurunkan pikulannya dan membantu orang tersebut, hingga menjelang siang hari. Ia lupa kalau jam belanja orang di pasar sudah selesai, akibatnya pendapatan hari itu tidak ada. Tidak lama kemudian ban mobil sudah terangkat dan betapa terharunya orang punya mobil itu karena masih ada anak muda yang bersifat dan bersikap seperti itu. Tidak seperti anak-anak lainnya yang nakal, gois dan antisosial terutama di kota. Dia rela mengorbankan dirinya untuk membantu orang lain.
Orang itu memperkenalkan dirinya, ternyata ia adalah pengusaha kaya datang berkunjung ke desa itu untuk melihat kondisi lapangan dalam usaha menanam investasi. Orang kaya itu mengeluarkan uang dari sakunya dan diberikan kepada si anak muda itu, tetapi alangkah herannya karena anak muda mengembalikkan dan tidak mau mengambil. Katanya sudah sepantasanya ia membantu orang lain, apa ia miliki hanya sebuah otot. Walaupun dipaksa untuk menerima tetapi selalu ditolak sehingga orang kaya tersebut hanya dapat memberikan kartu nama bila suatu saat ke kota kiranya mencari alamat itu.
Menjelang ujian masuk perguruan tinggi fakultas kedokteran, ia pun mencoba mendaftarkan diri dengan bekal uang setelah sapi kakek dijual. Ia berangkat ke kota dengan membawa kartu nama yang diberikan oleh orang yang pernah ditolongnya. Alangkah kagetnya setelah melihat rumah megah pada alamat itu. Orang kaya itu menerimanya senang hati kalau si anak itu mau tinggal bersamanya pada saat pendaftaran. Dengan ucap terima kasih dan rasa syukur kepada Tuhan. Alhamdulillah setelah mengumuman, ia diterima di fakultas kedokteran. Kakeknya sangat bergembira bercampur cemas, jangan-jangan nanti cucunya macet di tengah jalan apalagi kalau ia sendiri sudah tua dan namanya ajal mungkin saja tidak lama lagi dipanggil menghadap oleh Tuhan yang Maha Kuasa.
Perkuliahan berjalan satu semester. Dia harus belajar dan bekerja lebih keras lagi untuk biaya kuliah. Si anak itu sambil kuliah dia bekerja membantu orang menambal ban, malam hari memberikan bimbingan belajar di rumah anak orang kaya itu, di samping itu pula selain kiriman dari kakek di kampung juga dia juga mendapat bea siswa dari kampus. Dengan demikian dia dapat membayar biaya kuliah dan rumah kost. Tiga tahun dia menempuh perkuliahan, tibalah saatnya untuk menyelesiakan perkuliahan. Betapa gembiranaya karena waktu yang dinantikan akan telah tiba yakni wisuda. Dengan semangat dan rasa gembira, sayang yang meluap-luap, ia mengabari kakeknya di kampung lewat sepucuk surat yang berisi bahwa cucunda telah selesai dalam perkuliahan dan semua itu berkat perjuangan hidup kakek dalam mengasuh, membimbing, nemelihara, membesarkan dan menghidupi saya. Jika bukan karena kakek maka saya tidak ada di dunia seperti ini. Saya mohon dengan sangat kakek berkesempatan dan tidak berkeberatan dan rasa senang dan bahagianya saya, kalau kakek saya jemput minggu depan untuk hadir dalam acara wisuda cucunda. Sebagai informasi bahwa cucunda sebagai lulus terbaik wisudawan tahun ini, insya Allah menurut dekan Fakultas Kedokoteran bahwa mahasiswa yang lulusan terbaik akan dipanggil langsung untuk bekerja di rumah sakit yang ternama di Indonesia setelah diwisuda. Sesuai dengan cita-cita cucunda, maka nasib kita akan berubah, kakek saya ambil dan saya bawah di mana saya bertugas. Kakek tidak usah bekerja lagi, saya mau kakek menikmati jerih payah kakek yang telah menyekolahkan saya.
Alangkah sedihnya anak itu, karena menjelang acara wisuda kakeknya tidak membalas suratnya bahkan tidak ada kabar sepatah kata pun tentang kondisinya. Memang selama dua bulan terkahir anak itu sibuk dengan penyelesaian studinya. Ia pun mencari kabar tetapi orang-orang ia temui tidak dapat memberikan keterangan. Sesuai janji kepada kakeknya untuk datang menjemputnya, sehingga ia berkemas-kemas pulang kampung. Jarak kota tempat kuliah dengan kampung sangat jauh. Perjalanan mobil selama dua hari baru tiba. Itupun terkadang harus jalan kaki menelusuri lereng-lereng gunung. Desa tempat tinggalnya memang dikategorikan desa terpencil. Jadi wajar kalau informasi tentang kampungnya terbatas ketika dia kuliah. Dengan semangat dan rasa gembira campur cemas ia hampir tiba di rumah kakeknya alias Pa Tua. Dari kejauhan rumah itu alias gubuk tua sepertinya sudah lama tidak berpenghuni. Dulunya banyak tanaman sayur-sayuran, bersih dari dedaunan, tetapi sekarang kelihatannya kebun di depan gubuk gersang dan ditumbuhi ilalang. Alangkah terkejutnya setelah melihat gubuk tua itu sudah kosong tidak berpenghuni lagi. Ia masih teringat ketika ia masih kecil bermain berkejar-kejaran, bercanda, bermain bersama Pa Tua di tempat itu. Ia melihat baju sehari-hari yang sering dikenankan Pa Tua tergantung di pintu. Alat kebun cangkul, sabit dan parang juga masih tergantung di dinding.
Lama ia duduk termenung, apakah kakeknya sudah pindah tempat? Tetapi kenapa alat-alat kebun tidak dibawa serta dan ke mana ucap dalam hatinya. Tanpa disadari tiba-tiba matanya tertuju pada gundukan tanah di samping kebunnya dulu. Ia merasa curiga dan mendekat, ternyata di atas gundukan tanah itu tertulis nama ”Kakek Wafat, hari Kamis, 12 Agustus 2008. Entah di mana perasaannya berlabuh pada saat itu, sehingga ia jatuh pingsan tak sadarkan diri. Ternyata Pa Tua wafat menjelang hari wisudanya. Setelah ia siuman kembali, ia sadarkan diri, ia mengenang kembali masa-masa bersama Pa Tua ketika ia pungut dan dijadikan sebagai cucu dan berbagai macam perjuangan hidup yang dia tempuh bersama Pa Tua. Ia berteriak keras ke langit meminta kepada Tuhan agar dipertemukan dengan kakeknya walaupun hanya sejenak saja untuk melepaskan rindu dan mengucapkan terima kasih, tetapi apa buat kakeknya sudah berada di alam lain.
Hatinya teriris-iris, gelar dokter yang diraih akan dipersembahkan kepadanya. Ia mau membuat gembira hati kakek di hari tuanya. Ia tidak dan belum berterima kepadanya tentang jerih payah mengasuh, membesarkan dan menyekolahkannya. Pada malam itu ia bermalam di gubuk tempat ia dibesarkan, ia bersembahyang dan mendoakan keselamatan di akhirat kakeknya. Di bawah sajadah ia yang di pakai sembahyang ditemukan sepucuk surat yang ditulis semdiri oleh kakek dengan bahasa daerah yang artinya cucuku yang kakek sayangi, dengan perjuangan yang cukup panjang dan berat namun membuatku bersemangat hidup. Gembiraku adalah kehadiranmu di sisiku, jiwaku telah kuabdikan demi masa depanmu yang cerah. Hari wisudamu adalah hari terakhir kuantar engkau cucuku dalam gerbang perjuangan terakhir. Rinduku padamu untuk bertemu setiap saat adalah rinduku akan keberhasilanmu mengukir nama. Maafkan kakek, cucuku! Aku tidak bisa menantimu untuk bersama lagi dalam satu perjalanan, sebab takdir Tuhan yang memisahkan kita. Biarlah gubuk tua dan kebun kesayangan kakek akan menjadi saksi bisu tentang arti perjuangan hidup seorang peengemis menjadi kakek. Satu pesan saya jika esok engkau menjadi ”orang” janganlah menanusiakan binatang dan membinatangkan manusia sebagaimana kakek diperlakukan dahulu. Sebab kalau seperti itu maka di depan langkah kita bencana sedang mengintai. Abadikan hidupmu untukl menolong sesaa manusia. Dunia ini hanyalah persinggahan sementara. Kehidupan abadi adalah kehidupan yang aku jalani.
Seiring dengan perjalan waktu, dokter itu kini bekerja sebagai dokter ahli di salah satu rumah sakit ternama di Jakarta. Suatu hari ketika ia memeriksa seorang pasien, dia melihat ada kalung yang dipakai oleh ibu yang sudah lanjut usia persis sama kalung yang bergantung di lehernya semenjak dia masih kecil. Setelah diselidiki ternyata ibu itu adalah ibu kandungnya sendiri, berpisah semenjak kecil ketika tangan ibu dengan sekuat tenaga menggendong banyinya namun lebih kuat hempasan air, sehingga banyinya terlepas dari tangan. Alangkah gembiranya dia bisa hidup bersama ibunya. Namun ia tidak lupa selalu berziarah ke makam kakeknya di kampung. Disamping itu pula dia memberikan pengobatan gratis kepada seluruh warga masyarakat termasuk warga masyarakat yang jengkel ketika ia disekolahkan oleh kakek. Mulai saat itu warga masyarakat sudah terbuka matanya tentang arti dan pentingnya pendidikan. Investasi kepada anak akan lebih baik daripada invertasi kepada sawah dan ternak.
Ceita ini adalah kisah yang terjadi pinggir danau Tempe Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar