Cerpen: Indra Trenggono
BULAN sebesar semangka tersepuh perak, tergantung di langit kota, dini hari. Cahayanya yang lembut, tipis berselaput kabut, menerpa lima sosok patung pahlawan yang berdiri di atas Monumen Joang yang tak terawat dan menjadi sarang gelandangan. Cahaya bulan itu seperti memberi tenaga kepada mereka untuk bergerak-gerak, dari posisi mereka yang berdiri tegak. Mereka seperti mencuri kesempatan dari genggaman warga kota yang terlelap dirajam kantuk dalam ringkus selimut.
Lima patung yang terdiri dari tiga lelaki dan dua perempuan itu, menggoyang-goyangkan kaki, menggerakkan tangan, kemudian duduk dan bahkan ada yang tiduran. Mungkin, mereka sangat letih karena selama lebih dari empat puluh tahun berdiri di situ. Wajah mereka yang kaku, dengan lipatan-lipatan cor semen yang beku pun kerap bergerak-gerak seperti orang mengaduh, mengeluh, menjerit dan berteriak. Tentu, hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengarnya.
"Dulu, ketika jasad kita terbujur di sini, kota ini sangat sunyi. Hanya beberapa lampu berpendar bagai belasan kunang-kunang yang membangunkan malam. Kini, puluhan bahkan ratusan lampu, bependar-pendar seterang siang. Negeri ini benar-benar megah," ujar patung lelaki yang dikenal dengan nama Wibagso sambil mengayun-ayunkan senapannya.
"Tapi lihatlah di sana, Bung Wibagso. Kumpulan gelandangan tumpang-tindih bagi jutaan cendol sedang makan bangkai anjing dengan lahap. Dan di sana, lihatlah deretan gubug-gubug reyot menyatu dengan gelandangan yang berjejal bagai benalu menempel di tembok gedung-gedung. Mulut mereka menganga menyemburkan abab bacin serupa aroma mayat, mengundang jutaan lalat terjebak di dalamnya. Ya, Tuhan, mereka mengunyah lalat-lalat itu..." desis patung lelaki bernama Durmo.
Ratri, patung perempuan yang dulu dikenal sebagai mata-mata kaum gerilyawan, menukas, "Itu biasa rekan Durmo. Dalam negeri yang gemerlap, selalu dirawat kemiskinan sebagai ilham bagi kemajuan. Kita mesti bangga, negeri ini sangat kaya. Lihatlah di sana deretan rumah mewah menyimpan jutaan keluarga bahagia. Ada mobil-mobil mewah, ada lapangan golf pribadi, bahkan ada pesawat terbang pribadi... Dan lihatlah di sana, orang-orang berdansa-dansi sampai pagi. Yaaa... ampun malah ada yang orgi..."
Patung Sidik, yang sejak tadi menyidik dunia sekitar dengan mata nanar melenguh bagai sapi di ruang jagal, "Ternyata mereka hanya sanggup mengurus perut dan kelamin mereka sendiri. Aku jadi menyesal, kenapa dulu ikut memerdekakan negeri ini."
"Aku pun jadi tidak lagi pede sebagai pahlawan," timpal Durmo, "Kita bediri di sini tak lebih dari hantu sawah. Ternyata mereka tak sungkan apalagi hormat kepada kita. Buktinya, mereka menggaruk apa saja."
"Kamu jangan terlalu sentimentil. Aku rasa mereka tetap hormat kepada kita. Buktinya, mereka membangunkan kita monumen yang megah," tukas Wibagso.
Tapi kenapa kita hanya diletakkan di sini, di tempat njepit ini. Mosok monumen pahlawan kok cuma dislempitkan," gugat patung perempuan bernama Cempluk, yang dulu dikenal sebagai pejuang dari dapur umum.
Angin bertiup mengabarkan hari sudah pagi. Gelandangan-gelandangan yang tidur melingkar di kaki monumen itu menggeliat. Mulut mereka menguap kompak. Aroma abab bacin yang membadai dari sela gigi-gigi kuning, menguasai udara sekitar. Tercium oleh para patung pahlawan. Sontak mereka serempak berdiri, dan masing-masing kembali pada tempatnya, sebelum keheningan pagi dirajam hiruk-pikuk kota, sebelum udara bersih pagi dicemari deru nafas kota yang keruh.
Dalam posisi asal, patung-patung pahlawan itu terus bergumam. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu menangkapnya.
YU Seblak, pelacur senior yang dikenal sebagai danyang alias "penunggu" monumen itu, duduk takzim di kaki monumen. Tangannya di angkat di atas kepala. Tergenggam dupa yang mengepulkan asap. Kepulan asap itu menari-nari mengikuti gerak tangan Yu Seblak. Ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah. Gerakan Yu Seblak diikuti lima-enam orang yang duduk di belakang perempuan berdandan menor itu. Yu Seblak bergumam meluncurkan kata-kata mantera.
"Aku mendengar ada banyak orang mendoakan kita. Mereka memberi kita sesaji. Ada bunga-bunga, ada jajan pasar, ada juga rokok klembak menyan," Mata Wibagso terus mengikuti upacara yang dipimpin Yu Seblak.
"Kurang ajar! Kita dianggap dhemit! Malah ada yang minta nomer buntut segala! Ini apa-apaan Wibagso!" teriak Durmo.
"Ssssttt. Tenanglah. Apa susahnya kita membikin mereka sedikit gembira. Anggap saja ini intermezzo dalam perjalanan kita menuju jagat keabadian," ujar Wibagso.
"Tapi kalau pahlawan sudah disuruh ngurusi togel itu kebangeten!" protes Cempluk.
"Hidup mereka gelap rekan Cempluk. Mereka hanya bisa mengadu kepada kita, karena yang hidup tak pernah mengurusi nasib mereka. Justru menghardik mereka...," tukas Ratri.
Yu Seblak terus mengucapkan doa dalam irama cepat, diikuti orang-orang di belakangnya. Selesai memimpin doa, Yu Seblak menerima berbagai keluhan para "pasiennya".
"Wah kalau pahlawan disuruh ngurusi garukan pelacur, ya enggak bisa. Punya permintaan itu mbok yang sopan gitu lho..."
"Habis, saya selalu kena garuk, Yu. Jadinya 'dagangan' saya sepi. Ehhh siapa tahu, para petugas ketertiban kota itu takut dengan Kanjeng Wibagso dan semua pahlawan di sini. Tolong ya... Yu..." ujar Ajeng, perempuan berparas malam itu, sambil menyerahkan amplop di genggaman Yu Seblak.
"Yaahhh akan saya usahaken. Semoga saja Kanjeng Wibagso dan rekan bisa mempertimbangken..."
Wibagso tersenyum. Sidik manggut-manggut. Durmo tampak tersinggung.
"Mereka ini payah. Garuk-menggaruk itu kan bukan urusan kita. Mestinya mereka mengadu ke anggota dewan..."
"Ah anggota dewan kan lebih senang kasak-kusuk untuk saling menjatuhkan...," ujar Sidik.
"Tampung saja keluhan itu," sahut Wibagso.
"Tapi urusan kita banyak, Bung! Kita masih harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan kita selama hidup. Jujur saja, waktu berjuang dulu, aku menembaki musuh tanpa ampun seperti aku membasmi tikus," mata Durmo menerawang jauh.
"Perang memungkinkan segalanya, Bung. Kita tidak mungkin bersikap lemah lembut terhadap musuh, yang mengincar nyawa kita. Kita membunuh bukan demi kepuasan melihat mayat-mayat mengerjat-ngerjat karena nyawanya oncat. Kita hanya mempertahankan hak yang harus digenggam," Wibagso mencoba menghibur Durmo.
"Kita yakin saja, malaikat penghitung pahala pasti mencatat seluruh kebaikan kita," Ratri menimpali.
Dari penjual rokok di seberang jalan, sayup-sayup terdengar warna berita dari radio: "Monumen Joang untuk mengenang lima pahlawan yang gugur dalam pertempuran Kota Baru melawan pasukan Belanda akan dipugar. Status mereka pun sedang diusulkan untuk ditingkatkan dari pahlawan kota telah menyiapkan anggaran sebesar tiga milyar." Lima patung itu mendengarkan berita dengan takzim. Wibagso meloncat girang. Ratri menari-nari. Cempluk hanya diam terpekur. Durmo masih dibalut perasaan gelisah. Sidik berdiri mematung, meskipun sudah sangat lama jadi patung.
"Kenapa kalian hanya diam? Berita itu mesti kita rayakan!" ujar Wibagso.
"Untuk apa? Aku sendiri tak terlalu bangga jadi pahlawan. Ternyata negeri yang kumerdekakan ini, akhirnya hanya menjadi meja prasmanan besar bagi beberapa gelintir orang. Sedang jutaan mulut yang lain, hanya menjadi tong sampah yang mengunyah sisa-sisa pesta," ujar Sidik.
"Itu bukan urusan kita, Bung. Tugas kita sudah selesai. Kita tinggal bersyukur melihat anak cucu hidup bahagia," sergah Wibagso.
"Tapi jutaan orang-orang bernasib gelap itu terus menjerit. Jeritan mereka memukul-mukul rongga batinku."
"Ah, sudah jadi arwah kok masih perasa."
"Tapi perasaanku masih hidup!"
"Untuk apa memikirkan semua itu. Kalau masih ada yang kurang beruntung, itu biasa. Hidup ini perlombaan. Ada pemenang, ada juga pecundang!"
"Jangan-jangan kamu ini kurang ikhlas berjuang, Bung Sidik," timpal Ratri.
"Kurang ikhlas bagaimana? Kakiku yang pengkor ini telah kuberikan kepada hidup. Bahkan jantungku telah menjadi sarang peluru-peluru musuh. Mereka memberondongku tanpa ampun hingga tubuhku luluh latak bagai dendeng."
"Ooo kalau soal itu, penderitaanku lebih dahsyat. Kalian tahu, ketika aku merebut kota yang dikuasai musuh, puluhan peluru merajamku. Tapi aku puas, karena berkat keberanianku, nyali kawan-kawan kita terpompa dan akhirnya berhasil memenangkan pertempuran. Ini semua berkat aku!"
"Enak saja kau bilang aku," sergah Durmo. "Dalam pertempuran merebut Kota Baru itu, aku dan Sidik yang berdiri paling depan. Menghadapi musuh satu lawan satu. Kamu sendiri, lari terbirit-birit ke hutan dan ke gunung. Dan kamu, tanpa malu, menyebut sedang bergerilya!"
"Tapi akulah yang punya ide untuk menyerang. Aku juga yang memimpin serangan fajar itu!"
"Siapa yang mengangkatmu jadi pemimpin, Wibagso? Siapa? Waktu itu, kita tak lebih dari pemuda yang hanya bermodal nyali. Tak ada jabatan. Tak ada hierarki. Apalagi pimpinan produksi perang!" hardik Durmo.
"Tapi perang tidak hanya pakai otot, Bung! Perang juga pakai otak. Pakai strategi!" Napas Wibagso naik-turun.
"Tapi strategi tanpa nyali bagai kepala tanpa kaki!" kilah Durmo.
"Bung Wibagso," tukar Sidik, "Kenapa kamu sibuk menghitung-hitung jasa yang sesungguhnya hampa?!"
Bulan mengerjap, seperti tersentak. Wajah Wibagso memerah.
"Sidik! Belajarlah kamu menghargai jasa orang lain. Jangan anggap kamu paling pahlawan di antara para pahlawan!"
"Kapan aku membangga-banggakan diri? Kapan? Kamu ingat, waktu berjuang dulu, aku justru menghilang ketika ada Panglima Besar mengunjungi kawan-kawan kita yang berhasil menggempur musuh. Kalau aku mau, bisa saja aku mencatatkan diri menjadi prajurit resmi. Dan aku yakin, ketika negeri ini merdeka, aku mampu jadi petinggi yang bisa mborongi proyek. Tapi, puji Tuhan, maut keburu menjemputku," ujar Sidik.
"Begitu juga aku," sergah Durmo, "Aku berpesan kepada anak-anakku, kepada seluruh keturunanku, untuk tidak mengungkit-ungkit jasa kepahlawananku, demi uang tunjangan yang tak seberapa banyak. Itu pun masih banyak potongannya!"
"Munafik. Kalian ini munafik!" bentak Wibagso.
Bulan kembali mengerjap. Angin terasa mati.
Napas kota kembali berhembus. Jantung kota kembali berdegup. Gelandangan, pelacur dan copet kembali menggeliat. Mulut mereka kompak menguap menyemburkan abab bacin penuh bakteri.
"Aku yakin, kalau monumen ini jadi dipugar, kita akan kehilangan tempat," ujar Kalur, pencopet bertubuh tinggi kurus itu.
"Kita harus turun ke jalan. Kita kerahkan semua gelandangan di kota ini. Kita demo besar-besaran!" timpal Karep yang dijuluki "gelandangan intelektual" karena gemar mengutip kata-kata gagah.
Percakapan mereka dihentikan suara radio milik Yu Seblak yang menyiarkan warta berita: "Drs Ginsir, Kepala Kotapraja yang menggantikan RM Picis, membatalkan rencana pemugaran Monumen Joang. Menurut Drs Gingsir, proyek itu mubazir. Bertenangan dengan azas kemanfaatan bagi publik. Apalagi pengajuan perubahan status menjadi pahlawan nasional, ditolak Tim Pakar Sejarah Nasional. Dana sebesar tiga milyar dialihkan untuk memberikan bantuan pangan kepada masyarakat prasejahtera."
Gelandangan-gelandangan sontak bersorak. Mereka menari. Beberapa orang menenggak minuman oplosan alkohol. Bahkan ada yang mencampurinya dengan spritus. Jantung mereka berdetak cepat. Gerakan tubuh mereka semakin rancak, semakin panas.
Bulan pucat di angkasa berselimut kabut. Kota kembali tidur. Tapi di sebuah gedung pemerintahan kotapraja, tampak lampu masih menyala.
"Saya setuju saja, jika Den Bei Taipan mau bikin mall di sini," ujar Drs Ginsir sambil minum anggur.
"Terima kasih... terima kasih. Bapak Ginsir ternyata welcome. Eeee soal pembagian keuntungan, itu dinegosiasikan. Biasanya, 30:60." Den Bei menenggak anggur merah.
"Tapi tunggu dulu, Den Bei. Saya mesti mengusulkan masalah ini pada Dewan. Dan biasanya itu agak lama. Maklum..."
"Eeee bagaimana kalau 35:65. Tidak ada konglomerat gila macam saya."
"Tapi masih banyak konglomerat lain yang lebih gila, Den Bei..."
"Bagaimana kalau 40:60. Ini peningkatan yang sangat progresif."
"Well...well...well... Saya kira Den Bei bisa bikin mall tidak hanya satu. Tanah di sini masih sangat luas."
"Bapak ini ternyata cerdas. Setidaknya, mendadak cerdas."
Keduanya tertawa berderai.
"Den Bei tinggal pilih. Alun-alun, bekas benteng Rotenberg atau di Monumen Joang."
"Semuanya akan saya ambil."
"Terima kasih. Sulaplah kota kami ini jadi metropolitan."
Keduanya berjabat tangan.
***
"PENGKHIANAT! Culas! Licik dan sombong! Penguasa demi penguasa datang, ternyata hanya bertukar rupa. Mereka tetap saja menikamkan pengkhianatan demi pengkhianatan di tubuh kita!" Wibagso menggebrak, hingga tubuh monumen bergetar.
"Mereka menganggap kita sekadar bongkahan batu yang beku. Mereka hendak menggerus kita menjadi butiran-butiran masa silam yang kelam!" hardik Ratri.
Sidik, Durmo, dan Cempluk tersenyum.
"Kenapa kalian hanya diam? Kita ini hendak diluluhlantakkan. Lihatlah buldoser-buldoser itu datang. Berderap-derap. Kita harus bertahan. Bertahan!" teriak Wibagso.
Di bawah monumen, Yu Seblak memimpin penghadangan penggusuran. "Kita harus bertahan! Kita lawan buldoser-buldoser itu! Ajeng, Karep, Kalur, di mana kalian?" teriak Yu Seblak.
"Kami di sini. Di belakangmu!" jawab mereka kompak.
"Kita lawan mereka. Kita pertahankan liang-liang kita. Lebih baik mati daripada selamanya dikutuk jadi kecoa!"
Deru buldoser-buldoser mengepung monumen. Beberapa orang berseragam memberi aba-aba. Buldoser-buldoser terus merangsek.
"Lihatlah, mereka yang hanya gelandangan saja membela kita. Mestinya kalian malu!" hardik Wibagso.
"Wibagso! Kalau kami akhirnya melawan mereka, itu bukan untuk membela kepongahan kita sebagai pahlawan. Tapi membela mereka yang juga punya hak hidup!" teriak Sidik.
"Aku tak butuh penjelasan. Tapi butuh kejelasan sikap kalian untuk melawan mereka Ratri, meloncatlah kamu. Dan masuklah ke ruang kemudi. Cekik leher sopir-sopir itu. Cempluk, tahan moncong buldoser itu. Ganjal dengan tubuhmu. Sidik, dan kamu Durmo hancurkan mesin buldoser-buldoser itu. Cepat!" Wibagso mengatur perlawanan seperti ketika menghadapi tentara-tentara penjajah.
Buldoser terus merangsek. Meluluhlantakkan badan monumen. Menerjang orang-orang yang mencoba bertahan. Kalur, Karep, Ajeng, dan orang-orang lainnya lari lintang pukang.
"Kalian benar-benar pengecut!" teriak Yu Seblak.
"Sia-sia melawan mereka! Mereka ternyata buaanyaakkk sekali!" teriak Kalur.
"Kita menyingkir saja. Pahlawan saja mereka gilas, apalagi kecoa makam kita! Menyingkir... Menyingkir saja!!!" Karep mencoba menarik Yu Seblak yang berdiri beberapa sentimeter dari moncong-moncong buldoser. Tapi Yu Seblak tetap bertahan, sambil terus mengibar-ngibarkan kain dan kutangnya. Tak ada yang menahan Yu Seblak untuk telanjang. Buldoser-buldoser itu dengan rakus dan bergairah menggilas tubuh Yu Seblak. Tubuh kuning langsat itu bagaikan buah semangka yang dilumat blender.
Wibagso tersentak. Ratri menjerit histeris. Durmo dan Sidik berteriak-teriak penuh amarah. Mereka mencoba menghadang buldoser-buldoser itu. Tapi mesin penghancur itu terlalu kuat buat dilawan. Patung-patung itu dilabrak dan dihajar hingga lumat.
Bulan di angkasa mengerjap, Angin mati.
"Kalian telah membunuh kami untuk yang kedua kalinya..." ujar Wibagso lirih. Ucapan itu terus bergema, hingga mall itu selesai dibangun, dan diresmikan Kepala Kotapraja, Drs Gingsir. Hingga kini, suara-suara itu terus mengalun. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengar gugatan itu.*
BULAN sebesar semangka tersepuh perak, tergantung di langit kota, dini hari. Cahayanya yang lembut, tipis berselaput kabut, menerpa lima sosok patung pahlawan yang berdiri di atas Monumen Joang yang tak terawat dan menjadi sarang gelandangan. Cahaya bulan itu seperti memberi tenaga kepada mereka untuk bergerak-gerak, dari posisi mereka yang berdiri tegak. Mereka seperti mencuri kesempatan dari genggaman warga kota yang terlelap dirajam kantuk dalam ringkus selimut.
Lima patung yang terdiri dari tiga lelaki dan dua perempuan itu, menggoyang-goyangkan kaki, menggerakkan tangan, kemudian duduk dan bahkan ada yang tiduran. Mungkin, mereka sangat letih karena selama lebih dari empat puluh tahun berdiri di situ. Wajah mereka yang kaku, dengan lipatan-lipatan cor semen yang beku pun kerap bergerak-gerak seperti orang mengaduh, mengeluh, menjerit dan berteriak. Tentu, hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengarnya.
"Dulu, ketika jasad kita terbujur di sini, kota ini sangat sunyi. Hanya beberapa lampu berpendar bagai belasan kunang-kunang yang membangunkan malam. Kini, puluhan bahkan ratusan lampu, bependar-pendar seterang siang. Negeri ini benar-benar megah," ujar patung lelaki yang dikenal dengan nama Wibagso sambil mengayun-ayunkan senapannya.
"Tapi lihatlah di sana, Bung Wibagso. Kumpulan gelandangan tumpang-tindih bagi jutaan cendol sedang makan bangkai anjing dengan lahap. Dan di sana, lihatlah deretan gubug-gubug reyot menyatu dengan gelandangan yang berjejal bagai benalu menempel di tembok gedung-gedung. Mulut mereka menganga menyemburkan abab bacin serupa aroma mayat, mengundang jutaan lalat terjebak di dalamnya. Ya, Tuhan, mereka mengunyah lalat-lalat itu..." desis patung lelaki bernama Durmo.
Ratri, patung perempuan yang dulu dikenal sebagai mata-mata kaum gerilyawan, menukas, "Itu biasa rekan Durmo. Dalam negeri yang gemerlap, selalu dirawat kemiskinan sebagai ilham bagi kemajuan. Kita mesti bangga, negeri ini sangat kaya. Lihatlah di sana deretan rumah mewah menyimpan jutaan keluarga bahagia. Ada mobil-mobil mewah, ada lapangan golf pribadi, bahkan ada pesawat terbang pribadi... Dan lihatlah di sana, orang-orang berdansa-dansi sampai pagi. Yaaa... ampun malah ada yang orgi..."
Patung Sidik, yang sejak tadi menyidik dunia sekitar dengan mata nanar melenguh bagai sapi di ruang jagal, "Ternyata mereka hanya sanggup mengurus perut dan kelamin mereka sendiri. Aku jadi menyesal, kenapa dulu ikut memerdekakan negeri ini."
"Aku pun jadi tidak lagi pede sebagai pahlawan," timpal Durmo, "Kita bediri di sini tak lebih dari hantu sawah. Ternyata mereka tak sungkan apalagi hormat kepada kita. Buktinya, mereka menggaruk apa saja."
"Kamu jangan terlalu sentimentil. Aku rasa mereka tetap hormat kepada kita. Buktinya, mereka membangunkan kita monumen yang megah," tukas Wibagso.
Tapi kenapa kita hanya diletakkan di sini, di tempat njepit ini. Mosok monumen pahlawan kok cuma dislempitkan," gugat patung perempuan bernama Cempluk, yang dulu dikenal sebagai pejuang dari dapur umum.
Angin bertiup mengabarkan hari sudah pagi. Gelandangan-gelandangan yang tidur melingkar di kaki monumen itu menggeliat. Mulut mereka menguap kompak. Aroma abab bacin yang membadai dari sela gigi-gigi kuning, menguasai udara sekitar. Tercium oleh para patung pahlawan. Sontak mereka serempak berdiri, dan masing-masing kembali pada tempatnya, sebelum keheningan pagi dirajam hiruk-pikuk kota, sebelum udara bersih pagi dicemari deru nafas kota yang keruh.
Dalam posisi asal, patung-patung pahlawan itu terus bergumam. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu menangkapnya.
YU Seblak, pelacur senior yang dikenal sebagai danyang alias "penunggu" monumen itu, duduk takzim di kaki monumen. Tangannya di angkat di atas kepala. Tergenggam dupa yang mengepulkan asap. Kepulan asap itu menari-nari mengikuti gerak tangan Yu Seblak. Ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah. Gerakan Yu Seblak diikuti lima-enam orang yang duduk di belakang perempuan berdandan menor itu. Yu Seblak bergumam meluncurkan kata-kata mantera.
"Aku mendengar ada banyak orang mendoakan kita. Mereka memberi kita sesaji. Ada bunga-bunga, ada jajan pasar, ada juga rokok klembak menyan," Mata Wibagso terus mengikuti upacara yang dipimpin Yu Seblak.
"Kurang ajar! Kita dianggap dhemit! Malah ada yang minta nomer buntut segala! Ini apa-apaan Wibagso!" teriak Durmo.
"Ssssttt. Tenanglah. Apa susahnya kita membikin mereka sedikit gembira. Anggap saja ini intermezzo dalam perjalanan kita menuju jagat keabadian," ujar Wibagso.
"Tapi kalau pahlawan sudah disuruh ngurusi togel itu kebangeten!" protes Cempluk.
"Hidup mereka gelap rekan Cempluk. Mereka hanya bisa mengadu kepada kita, karena yang hidup tak pernah mengurusi nasib mereka. Justru menghardik mereka...," tukas Ratri.
Yu Seblak terus mengucapkan doa dalam irama cepat, diikuti orang-orang di belakangnya. Selesai memimpin doa, Yu Seblak menerima berbagai keluhan para "pasiennya".
"Wah kalau pahlawan disuruh ngurusi garukan pelacur, ya enggak bisa. Punya permintaan itu mbok yang sopan gitu lho..."
"Habis, saya selalu kena garuk, Yu. Jadinya 'dagangan' saya sepi. Ehhh siapa tahu, para petugas ketertiban kota itu takut dengan Kanjeng Wibagso dan semua pahlawan di sini. Tolong ya... Yu..." ujar Ajeng, perempuan berparas malam itu, sambil menyerahkan amplop di genggaman Yu Seblak.
"Yaahhh akan saya usahaken. Semoga saja Kanjeng Wibagso dan rekan bisa mempertimbangken..."
Wibagso tersenyum. Sidik manggut-manggut. Durmo tampak tersinggung.
"Mereka ini payah. Garuk-menggaruk itu kan bukan urusan kita. Mestinya mereka mengadu ke anggota dewan..."
"Ah anggota dewan kan lebih senang kasak-kusuk untuk saling menjatuhkan...," ujar Sidik.
"Tampung saja keluhan itu," sahut Wibagso.
"Tapi urusan kita banyak, Bung! Kita masih harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan kita selama hidup. Jujur saja, waktu berjuang dulu, aku menembaki musuh tanpa ampun seperti aku membasmi tikus," mata Durmo menerawang jauh.
"Perang memungkinkan segalanya, Bung. Kita tidak mungkin bersikap lemah lembut terhadap musuh, yang mengincar nyawa kita. Kita membunuh bukan demi kepuasan melihat mayat-mayat mengerjat-ngerjat karena nyawanya oncat. Kita hanya mempertahankan hak yang harus digenggam," Wibagso mencoba menghibur Durmo.
"Kita yakin saja, malaikat penghitung pahala pasti mencatat seluruh kebaikan kita," Ratri menimpali.
Dari penjual rokok di seberang jalan, sayup-sayup terdengar warna berita dari radio: "Monumen Joang untuk mengenang lima pahlawan yang gugur dalam pertempuran Kota Baru melawan pasukan Belanda akan dipugar. Status mereka pun sedang diusulkan untuk ditingkatkan dari pahlawan kota telah menyiapkan anggaran sebesar tiga milyar." Lima patung itu mendengarkan berita dengan takzim. Wibagso meloncat girang. Ratri menari-nari. Cempluk hanya diam terpekur. Durmo masih dibalut perasaan gelisah. Sidik berdiri mematung, meskipun sudah sangat lama jadi patung.
"Kenapa kalian hanya diam? Berita itu mesti kita rayakan!" ujar Wibagso.
"Untuk apa? Aku sendiri tak terlalu bangga jadi pahlawan. Ternyata negeri yang kumerdekakan ini, akhirnya hanya menjadi meja prasmanan besar bagi beberapa gelintir orang. Sedang jutaan mulut yang lain, hanya menjadi tong sampah yang mengunyah sisa-sisa pesta," ujar Sidik.
"Itu bukan urusan kita, Bung. Tugas kita sudah selesai. Kita tinggal bersyukur melihat anak cucu hidup bahagia," sergah Wibagso.
"Tapi jutaan orang-orang bernasib gelap itu terus menjerit. Jeritan mereka memukul-mukul rongga batinku."
"Ah, sudah jadi arwah kok masih perasa."
"Tapi perasaanku masih hidup!"
"Untuk apa memikirkan semua itu. Kalau masih ada yang kurang beruntung, itu biasa. Hidup ini perlombaan. Ada pemenang, ada juga pecundang!"
"Jangan-jangan kamu ini kurang ikhlas berjuang, Bung Sidik," timpal Ratri.
"Kurang ikhlas bagaimana? Kakiku yang pengkor ini telah kuberikan kepada hidup. Bahkan jantungku telah menjadi sarang peluru-peluru musuh. Mereka memberondongku tanpa ampun hingga tubuhku luluh latak bagai dendeng."
"Ooo kalau soal itu, penderitaanku lebih dahsyat. Kalian tahu, ketika aku merebut kota yang dikuasai musuh, puluhan peluru merajamku. Tapi aku puas, karena berkat keberanianku, nyali kawan-kawan kita terpompa dan akhirnya berhasil memenangkan pertempuran. Ini semua berkat aku!"
"Enak saja kau bilang aku," sergah Durmo. "Dalam pertempuran merebut Kota Baru itu, aku dan Sidik yang berdiri paling depan. Menghadapi musuh satu lawan satu. Kamu sendiri, lari terbirit-birit ke hutan dan ke gunung. Dan kamu, tanpa malu, menyebut sedang bergerilya!"
"Tapi akulah yang punya ide untuk menyerang. Aku juga yang memimpin serangan fajar itu!"
"Siapa yang mengangkatmu jadi pemimpin, Wibagso? Siapa? Waktu itu, kita tak lebih dari pemuda yang hanya bermodal nyali. Tak ada jabatan. Tak ada hierarki. Apalagi pimpinan produksi perang!" hardik Durmo.
"Tapi perang tidak hanya pakai otot, Bung! Perang juga pakai otak. Pakai strategi!" Napas Wibagso naik-turun.
"Tapi strategi tanpa nyali bagai kepala tanpa kaki!" kilah Durmo.
"Bung Wibagso," tukar Sidik, "Kenapa kamu sibuk menghitung-hitung jasa yang sesungguhnya hampa?!"
Bulan mengerjap, seperti tersentak. Wajah Wibagso memerah.
"Sidik! Belajarlah kamu menghargai jasa orang lain. Jangan anggap kamu paling pahlawan di antara para pahlawan!"
"Kapan aku membangga-banggakan diri? Kapan? Kamu ingat, waktu berjuang dulu, aku justru menghilang ketika ada Panglima Besar mengunjungi kawan-kawan kita yang berhasil menggempur musuh. Kalau aku mau, bisa saja aku mencatatkan diri menjadi prajurit resmi. Dan aku yakin, ketika negeri ini merdeka, aku mampu jadi petinggi yang bisa mborongi proyek. Tapi, puji Tuhan, maut keburu menjemputku," ujar Sidik.
"Begitu juga aku," sergah Durmo, "Aku berpesan kepada anak-anakku, kepada seluruh keturunanku, untuk tidak mengungkit-ungkit jasa kepahlawananku, demi uang tunjangan yang tak seberapa banyak. Itu pun masih banyak potongannya!"
"Munafik. Kalian ini munafik!" bentak Wibagso.
Bulan kembali mengerjap. Angin terasa mati.
Napas kota kembali berhembus. Jantung kota kembali berdegup. Gelandangan, pelacur dan copet kembali menggeliat. Mulut mereka kompak menguap menyemburkan abab bacin penuh bakteri.
"Aku yakin, kalau monumen ini jadi dipugar, kita akan kehilangan tempat," ujar Kalur, pencopet bertubuh tinggi kurus itu.
"Kita harus turun ke jalan. Kita kerahkan semua gelandangan di kota ini. Kita demo besar-besaran!" timpal Karep yang dijuluki "gelandangan intelektual" karena gemar mengutip kata-kata gagah.
Percakapan mereka dihentikan suara radio milik Yu Seblak yang menyiarkan warta berita: "Drs Ginsir, Kepala Kotapraja yang menggantikan RM Picis, membatalkan rencana pemugaran Monumen Joang. Menurut Drs Gingsir, proyek itu mubazir. Bertenangan dengan azas kemanfaatan bagi publik. Apalagi pengajuan perubahan status menjadi pahlawan nasional, ditolak Tim Pakar Sejarah Nasional. Dana sebesar tiga milyar dialihkan untuk memberikan bantuan pangan kepada masyarakat prasejahtera."
Gelandangan-gelandangan sontak bersorak. Mereka menari. Beberapa orang menenggak minuman oplosan alkohol. Bahkan ada yang mencampurinya dengan spritus. Jantung mereka berdetak cepat. Gerakan tubuh mereka semakin rancak, semakin panas.
Bulan pucat di angkasa berselimut kabut. Kota kembali tidur. Tapi di sebuah gedung pemerintahan kotapraja, tampak lampu masih menyala.
"Saya setuju saja, jika Den Bei Taipan mau bikin mall di sini," ujar Drs Ginsir sambil minum anggur.
"Terima kasih... terima kasih. Bapak Ginsir ternyata welcome. Eeee soal pembagian keuntungan, itu dinegosiasikan. Biasanya, 30:60." Den Bei menenggak anggur merah.
"Tapi tunggu dulu, Den Bei. Saya mesti mengusulkan masalah ini pada Dewan. Dan biasanya itu agak lama. Maklum..."
"Eeee bagaimana kalau 35:65. Tidak ada konglomerat gila macam saya."
"Tapi masih banyak konglomerat lain yang lebih gila, Den Bei..."
"Bagaimana kalau 40:60. Ini peningkatan yang sangat progresif."
"Well...well...well... Saya kira Den Bei bisa bikin mall tidak hanya satu. Tanah di sini masih sangat luas."
"Bapak ini ternyata cerdas. Setidaknya, mendadak cerdas."
Keduanya tertawa berderai.
"Den Bei tinggal pilih. Alun-alun, bekas benteng Rotenberg atau di Monumen Joang."
"Semuanya akan saya ambil."
"Terima kasih. Sulaplah kota kami ini jadi metropolitan."
Keduanya berjabat tangan.
***
"PENGKHIANAT! Culas! Licik dan sombong! Penguasa demi penguasa datang, ternyata hanya bertukar rupa. Mereka tetap saja menikamkan pengkhianatan demi pengkhianatan di tubuh kita!" Wibagso menggebrak, hingga tubuh monumen bergetar.
"Mereka menganggap kita sekadar bongkahan batu yang beku. Mereka hendak menggerus kita menjadi butiran-butiran masa silam yang kelam!" hardik Ratri.
Sidik, Durmo, dan Cempluk tersenyum.
"Kenapa kalian hanya diam? Kita ini hendak diluluhlantakkan. Lihatlah buldoser-buldoser itu datang. Berderap-derap. Kita harus bertahan. Bertahan!" teriak Wibagso.
Di bawah monumen, Yu Seblak memimpin penghadangan penggusuran. "Kita harus bertahan! Kita lawan buldoser-buldoser itu! Ajeng, Karep, Kalur, di mana kalian?" teriak Yu Seblak.
"Kami di sini. Di belakangmu!" jawab mereka kompak.
"Kita lawan mereka. Kita pertahankan liang-liang kita. Lebih baik mati daripada selamanya dikutuk jadi kecoa!"
Deru buldoser-buldoser mengepung monumen. Beberapa orang berseragam memberi aba-aba. Buldoser-buldoser terus merangsek.
"Lihatlah, mereka yang hanya gelandangan saja membela kita. Mestinya kalian malu!" hardik Wibagso.
"Wibagso! Kalau kami akhirnya melawan mereka, itu bukan untuk membela kepongahan kita sebagai pahlawan. Tapi membela mereka yang juga punya hak hidup!" teriak Sidik.
"Aku tak butuh penjelasan. Tapi butuh kejelasan sikap kalian untuk melawan mereka Ratri, meloncatlah kamu. Dan masuklah ke ruang kemudi. Cekik leher sopir-sopir itu. Cempluk, tahan moncong buldoser itu. Ganjal dengan tubuhmu. Sidik, dan kamu Durmo hancurkan mesin buldoser-buldoser itu. Cepat!" Wibagso mengatur perlawanan seperti ketika menghadapi tentara-tentara penjajah.
Buldoser terus merangsek. Meluluhlantakkan badan monumen. Menerjang orang-orang yang mencoba bertahan. Kalur, Karep, Ajeng, dan orang-orang lainnya lari lintang pukang.
"Kalian benar-benar pengecut!" teriak Yu Seblak.
"Sia-sia melawan mereka! Mereka ternyata buaanyaakkk sekali!" teriak Kalur.
"Kita menyingkir saja. Pahlawan saja mereka gilas, apalagi kecoa makam kita! Menyingkir... Menyingkir saja!!!" Karep mencoba menarik Yu Seblak yang berdiri beberapa sentimeter dari moncong-moncong buldoser. Tapi Yu Seblak tetap bertahan, sambil terus mengibar-ngibarkan kain dan kutangnya. Tak ada yang menahan Yu Seblak untuk telanjang. Buldoser-buldoser itu dengan rakus dan bergairah menggilas tubuh Yu Seblak. Tubuh kuning langsat itu bagaikan buah semangka yang dilumat blender.
Wibagso tersentak. Ratri menjerit histeris. Durmo dan Sidik berteriak-teriak penuh amarah. Mereka mencoba menghadang buldoser-buldoser itu. Tapi mesin penghancur itu terlalu kuat buat dilawan. Patung-patung itu dilabrak dan dihajar hingga lumat.
Bulan di angkasa mengerjap, Angin mati.
"Kalian telah membunuh kami untuk yang kedua kalinya..." ujar Wibagso lirih. Ucapan itu terus bergema, hingga mall itu selesai dibangun, dan diresmikan Kepala Kotapraja, Drs Gingsir. Hingga kini, suara-suara itu terus mengalun. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengar gugatan itu.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar