Jumat, 19 Oktober 2012

Percayalah Pada Niat Baikmu, Martini


Oleh: Kurniawan Lastanto
wanita itu bernama Martini. Kini ia kembali menginjakkan kakinya di lndonesa, setelah tiga tahun ia meninggalkan kampong halamannya yang berjarak tiga kilometer dari arah selatan Wonosari Gunung Kidul.
 
Didalam benak Martini berbaur rasa senang, rindu dan haru. Beberapa jam lagi ia akan berjumpa kembali dengan suaminya, mas Koko dan putranya Andra Mardianto, yang ketika ia tinggalkan masih berusia tiga tahun. Ia membayangkan putranya kini telah duduk dibangku sekolah dasar mengenakan seragam putih – merah dan menmpati rumahnya yang baru, yang dibangun oleh suaminya dengan uang yang ia kirimkan dari arab Saudi, Negara dimana selam ini ia bekerja.
 
Martini adalah seorang tenaga kerja wanita yang berhasil diantara banyak kisah mengenai tenaga kerja wanita yang nasibnya kurang beruntung di negeri manca, dimana mereka mengadu nasibnya. Tidak jarang seorang TKW pulang ketanah airnya dalam keadaan hamil tanpa jelas siapa ayah sang janin yang dikandungnya. Atau disiksa, digilas dibawah setrikaan bersuhu lebih dari 110 derajat celcius, atau tiba – tiba menjadi bahan pemberitaan di media massa tanah air karena sisa hidupnya yang sudah ditentukan oleh vonis hakim untuk bersiap menghadapi tiang gantungan atau tajamnya logam pancung yang kemudian membuat kedubes RI, Deplu dan Depnaker kelimpungan dan tampak lebih sibuk.
 
Sangatlah beruntung bagi Martini mempunyai majikan yang sangat baik, bahkan dalam tiga tahun ia bekerja, ia telah dua kali melaksanakan umroh dengan biaya sang majikan. Majikannya adalah seorang karyawan disalah satu perusahaan minyak disana. Ia bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga di El Riyadh dengan tugas khusus mengasuh putra sang majikan yang sebaya dengan Andra, putranya. Hal ini membuatnya selalu teringat putranya sendiri dan menambah semangat dalam bekerja.
 
Dengan cermat Martini memperhatikan sekeliling, akan tetapi ia tidak melihat seorang saudara atau kerabatpun yang ia kenal. Sempat terbersit rasa iri dan kecewa ketika ia menyaksikan beberapa rekanannya yang dijemput dan disambut kedatangannya oleh orang tua, anak atau suami mereka. Namun dengan segera ia membuang jauh – jauh pikiran tersebut. Ia tidak ingin suuzon dengan suaminya.
 
“mungkin hal ini disebabkan karena kedatanganku yang memang terlambat tiga hari dari jadwalkepulangan yang direncanakan sebelumnya,” pikirnya huznuzon.
Dan pikiran ini malah membuatnya merasa bersalah, karena ia tidak memberitahukan kedatangannya melalui telepon sebelumnya.
 
Akhirnya ia memutuskan untuk menuju terminal pulogadung dengan taksi bandara. Oleh karena ia tidak tahu dimana pool bus maju lancer terdekat dari bandara soekarno-hatta, ia berharap diterminal pulogadung ia bisa langsung menemukan bus tersebut dan membawanya ke wonosari dengan nyaman, karena badannya sekarang sudah terlalu letihuntuk perjalanan panjangyang ditempuh dari arab Saudi.
 
Tanpa ia sadari, martini telah sampai didepan rumahnya, rumah yang merupakan warisan ayahnya, yang ia huni bersama mas koko, andra dan ibunyayang telah renta. Namun bingung dan pertanyaan muncul dalam benaknya. Yang ia lihat hanyalah rumah tua tanpa berubahan sedikitpun, kecuali kandang sapi didekat rumahnyayang kini telah kosong. Sama keadaanya dengan tiga tahun lalutatkala ia meninggalkan rumah tersebut.
 
“ mana rumah baru yang mas koko bangun seperti yang ada difoto yang mas koko kirimkan tiga bulan yang lalu. Apakah ia membeli tanah ditempat lain dan membangunnya disana. Kalau begitu syukurlah,” pikirnya mencoba huznuzon.
 
Ia ketuk perlahan – lahanpintu rumahnya. Namun tidak ada seorangpun yang muncul membukakan pintu “kulo nuwun, mas…! Andra…! Mbok…!”
Beberapa saat kemudian barulah pintu yang terbuat dari kayu glugu tersebut terbuka.” Madosi sinten mbak?” Tanya seorang bocah berusia 6 tahun yang tak lain adalah andra yang muncul dari balik pintu.
“Andra aku ini ibumu, sudah lupa ya. Apakah bapakmu tidak menceritakan ihwal kedatanganku?” ucap martini balik bertanya.
“Ayah? Kedatanagn ibu? Oh mari masuk. Sebentar ya, andra bangunkan mbah dulu,” ujar Andra sambil berlari menuju kearah kamar neneknya.
Martini masuk kedalam rumah dan duduk diatas amben yang terletak disudut ruangan depan, seraya memperhatikan keadaan didalam rumah yang ia huni sejak kecil tersebut. Keadaan dalam rumahpun tidak tampak ada perubahan yang berarti.
 
“Martini ya. Wah – wah anakku sudah datangdari perantauan,” terdengar suara tua khas ibu martini sedang setengah berlari keluar dari kamarnya, menyambut kedatangan anaknya, diikuti oleh andra , membawakan segelas the hangat.
 
“bagaimana keadaan simbok disini?”, Tanya martini.
“oh, anakku simbok di sini baik – baik saja, kamu sendiri bagaimana, tini?” “saya baik – baik saja mbok, ngomong – ngomong mas koko dimana mbok?” Tanya martini. Mendengar pertanyaan itu, tiba – tiba air muka ibu martini berubah, ia tampak berpikir – piker sejenak.
 
“ oh mengenai suamimu, nanti akan simbok ceritakan, sebaiknya kamu ngaso dulu. Kau pasti capek setelah melakukan perjalanan jauh. Jangan lupa the hangatnya diminum dulu,” saran ibu martini.
Martini menurut saja apa yang dikatakan ibunya. Setelah menikmati segelas the hangat, ia mengangkat kaki dan tiduran di atas amben. Namun tetap saja ia tidak dapat memejamkan matanya. Pikirannya tetap melayang memikirkan suaminya ; dimana dia, apakah dia merantau ke Jakarta untuk turut mencari nafkah diperantauan, dimana letak rumah barunya, atau apakah mas koko malah meninggalkan dirinya dan menikah dengan wanita lain?”
“ah tidak mungkin,” pikirnya kembali berusaha untuk tetap huznuzon.
Ia mencoba bangkit lalu menemui ibunya yang sedang memasak dipawon.
 
“maaf Mbok, dimana mas koko, tini sudah kangen dan ingin berbicara dengannya,” ujar martini membuka kembali percakapan. Ibu martini tampak kembali berfikir sejenak, lalu berdiri dan mengambil segelas air putih dingin dari kendi.
“ minumlah air putih ini agar kamu lebih tenang, Tini, nanti simbok ceritakan di mana suamimu berada, kalau kamu memang sudah tidak sabar.”
 
Sementara itu martini bersiap untuk mendengarkan dengan seksama penuturan ibunya.
“ tiga bulan lalu rumah yang dibuat suamimu atas biaya dari kamu sudah jadi. Letaknya didusun sebelah sana, namun sejak itu pula kesengsem sama seorang wanita. Wanita itu adalah tetangga barunya. Dua bulan lalu mereka menikah dan meninggalkan andra bersama simbok. Tentu saja simbok marah besar kepadanya. Namum apa daya, simbok hanyalah wanita yang sudah renta, sedang ayahmu sudah tiada, dan uang yang simbok pegangpun pas – pasan. Mau mengirim surat kepadamu simbok tidak bisa, kamu tahukan simbok buta huruf. Mau minta tolong kepada siapa lagi, sedangkan kamu adalah anakku satu – satunya. Kamu tidak mempunyai saudara yang bisa simbok mintai tolong untuk mengirimkan surat kepadamu, sedangkan anakmu, andra masih kelas 1 SD”.
Mendengar penuturan ibunya, martini langsuung menangis, ia sedih marah dan kalut.
 
“mengapa simbok tidak melaporkannya ke pak kadus dan pak kades, dan beliaupun sudah berjanji untuk membantu simbok. Namun sampai saat ini simbok belum mendapatkan jawabannya. Sedangkan suamimu sendiri dan istri barunya , tampak tak peduli denagn suara – suara miring para tetangga. Dan untuk lapor ke KUA, simbok tidak berfikir sampai kesitu, maafkan simbok,” tambah ibunya dengan suara yang terdengar bergetar.
 
“Duh Gusti...., paringono sabar...,." terdengar Martini terisak, berusaha untuk tetap ingat kepada Yang Maha Kuasa. Bagaimana bisa, suami yang egitu ia cintai dan ia percaya, dapat berbuat begitu kejam terhadapnya. Apalagi ia sekarang tinggal bersama istri barunya, di rumah hasil jerih payahnya selama tiga tahun merantau di Arab Saudi.
 
"Mbok, di mana rumah baru itu berada?”
wajah ibunya terlihat ketakutan, ia tidak tahu apa yang akan dilakukan anaknya dalam keadaan kalut di sana apabila ia tahu letak rumah tersebut.
 
"Mbok,d i mana Mbok,” Suara Martini semakin tinggi, namun ibunya tetap diam.
,”Kenapa simbok tidak mau membertihu. Apakah Simbok merestuiny?_Apakah simbok mendukungnya? Apakah Simbok membela bajingan itu dari pada saya anakmu sendiri? Apakah.....”
“Diam Tini, teganya kamu menuduh ibumu seperti itu. Kamu mau menjadi anak durhaka? Ingatlah kamu kepada Tuhan,Nak, ingatlah kepada Gusti Allah,N ak"
Kalimat itu muncul dari mulut ibunya, yang kemudian terduduk menangis mendengar ucapan pedas anaknya tersebut.
 
“ya sudah kalau Simbok tidak mau memberitahu. Tini akan cari sendiri rumah itu,” teriak Martini seraya meninggalkan ibunya yang sangat bersedih, yang berusaha mengejarnya namun kemudian jatuh tersungkur di halam depan rumahnya karena tidak mampu lagi mengeiarnya.
“Hei , mana Koko, bajingan sialan,"teriak Martini sambil berjalan membabi buta, m enyusuri jalan dengan muka merah Padam.
 
Pikrannya kacau balau.
“Buat apa aku bekerja jauh-jauh mencari uang di Arab Saudi demi kamu dan.Andra tetapi mengapa kau tega memanfaatkanku, menggunakan uangku untuk membuat rumah dan tinggal di sana bersama istri barumu,
Kurang apa aku?”
 
Mendengar teriakan Martini, kontan para tetangga di sekitar situ segera berhamburan ke luar rumah. Mereka kebingungan menyaksikan ulah Tini yang sudah tidak mereka lihat selama tiga tahun, tiba – tiba muncul kembali di dusun itu dengan tingkah laku yang berubah 180o. Martini yang dulunya lembut, penurut, kini kasar dan beringasan. Apakah ia telah gila? Apakah yang telah terjadi terhadap dirinya di Arab saudi? Apakah ia

Dianiaya sebagaimana sering terdengar berita di media massa mengenai TKW yang disiksa?.
Namun kemudian mereka segera menyadari. Hal ini pasti karena Martini telah mengetahui perbuatan suaminya. Segera saja mereka mengejar dan mencoba menenangkan Martini. Namun dengan kuat Martini mencoba melepaskan tangannya dari dekapan tetangganva itu. Dan saat itu pula ia melihat suaminya, ya Koko bajingan itu, keluar dari rumahnya. Koko tampaknya tidak menghiraukan kedatangannya. Bahkan istri barunya itu terlihat dengan mesranya berdiri disamping koko yang meletakkan keduavtangannya dipinggang koko.
 
,,” hei, siapa kamu. Tini ya. Kenapa kamu kesini? Ini rumahku bersama mas koko. Bukannya kamu sudah mati, kalau belum mendingan kamu mati saja sekarang. Itu lebih baik, dari pada mau merusak kebahagiaan kami. Bukan begitu mas koko?” ujar wanita yang ada disebelah koko sambil mengalungkan tangan kanannya dileher koko dengan lembutnya.
Hal ini jelas membuat tini makin marah.
 
“hai , dasar kau, wanita murahan, tidak tahu diri. Koko adalah suamiku. Dan kau koko, mengapa kau tega menipuku, meninggalkanku hanya untuk menikahi wanita keparat ini. Dasar bajingan.”
Dekapan tetangga yang memegang Martini akhirnya lepas. Dengan cepat Martini meraih sebuah bamboo yang tergeletak di bawah pohon nangka dan berlari menuju kearah koko dan istri barunya. Dengan tidak hati-hati ia menaiki anak tangga yang menuju kedalam rumah baru itu. Secepat kilat ia mengayunkanbambu itu ke arah mereka berdua. Namun malang, belum sampai bamboo itu mengenai sasaran, ia kehilangan keseimbangan. Ia terpeleset dari dua anak tangga dan jatuh terjerembab tak sadarkan diri.
 
”Mbak – Mbak bangun Mbak. Mau turun di mana Mbak. Ini sudah sampai di wonosari," terdengar sayup-sayup suara pemuda yang duduk di dekat Martini.
"Astaghiirullaahaladzlm .Ha...apa...?.. W onosari," Tanya M artini.
“ Ya Mbak sepertinya dari tadi Mbak gelisah tidurnya" ujar pemuda itu
”Apakah benar ini wonosari?" Tanya Martini memastikan seraya mengarahkan pandangannya keluar jendela.
 
Ya ini adalah daerah yang telah tiga tahun ia tinggalkan.
"Alhamdulillah ya. ,Allah terima kasih," batin Martini bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar