Rabu, 17 Oktober 2012

Selaksa Hikmah Di Balik Tirai Kegagalan


Penulis : Awal


Baco adalah seorang pemuda yang dilahirkan di suatu desa yang agak jauh dari kota. Ia anak yang baik, rajin, sopan, ramah dan selalu patuh kepada ibundanya yang masih hidup. Walaupun kondisi ekonomi keluarganya kurang jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi penduduk  lainnya di desa itu. Baco tak pernah mundur diperhadapkan sebuah tantangan. Tantangan itu mesti ia dijalani jika  ingin meniti hidup yang lebih baik di esok hari. Tantangan yang dimaksud adalah menuntut pendidikan dalam kondisi ekonomi yang kurang.

Setelah tamat di salah satu SMU, Baco berkeinginan melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Dengan restu orang tuanya dia mendaftarkan diri. Tahap demi tahap dilewati dalam pengurusan UMPTN. Tidak berselang lama ketika pengumuman calon mahasiswa yang lulus, dia tidak mendapatkan namanya. Ini berarti ia tidak diterima  di Perguruan Tinggi Negeri yang didaftar. Sedikit ada kekecewaan dalam hatinya. Namun tetap tawakkal kepada Tuhan. ”Tuhanlah yang menentukan segala-galanya. Dia sudah cukup berusaha. Mungkin ada yang  lebih baik menurut Tuhan”, Ucap dalam hatinya.

Setelah gagal masuk di Perguruan Tinggi Negeri. Dia tidak berkeinginan masuk di Perguruan Tinggi Swasta. Biaya perkuliahan di Perguruan Tinggi Negeri sangat tinggi. Baginya, itu merupakan sesuatu yang memaksakan dan tidak mungkin terjadi. Jangankan Perguruan Tinggi Negeri apalagi Perguruan Tinggi Swasta. Terlebih-lebih lagi bapaknya sebagai tulang punggung dalam keluarga telah meninggal anak-anaknya semenjak masih kecil. Jadi yang membesarkannya adalah ibundanya. Ibunya sendiri saat itu sudah tua. Walaupun dengan usia yang sudah tua, ibundanya sedikit memaksakan diri. Ia masih sering pergi berjualan sayur di pasar. Kalau dilihat umurnya sudak tidak layak lagi untuk bekerja. Orang tua seperti itu lebih banyak tinggal di rumah dan menikmati hasil jerih payahnya ketika ia masih mudah.  Apa boleh buat karena anak-anaknya masih membutuhkan biaya hidup terutama Baco, Ibunya sangat berharap sekali kalau anaknya melanjutkan pendidikan dan sukses.

Dalam keadaan demikian, ia lebih bijaksana untuk  memilih  kursus bahasa Inggris dan Komputer saja. Nanti tahun berikutnya ia mencoba  mendaftarkan diri lagi. Alhasil dikabarkan oleh teman-temannya bahwa ia lulus di salah satu Perguruan Tinggi Negeri namun Perguruan Tinggi Negeri yang maksud temannya belum ia  diketahui dengan pasti. Ibunya sangat gembira mendengar kabar walaupun masih sebatas kabar angin. Ibundanya tak lupa mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan. Tuhan telah mengabulkan doanya selama ini.

Pada suatu malam tiba-tiba ada sebuah taxi berhenti di depan rumahnya, semua keluarga memperhatikan, “Siapa gerangan orang itu?” Yang jelasnya, taxi itu dari Makassar. Tidak lama kemudian keluarlah seorang laki-laki, ternyata laki-laki itu adalah saudara ibu yang dosen di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Makassar. Semua keluarga bertanya-tanya, pasti ada sesuatu yang penting, karena biasanya dia datang tidak memakai taxi dan bukan pada malam hari. Setelah Paman  duduk dengan tenang, dia mulai berbicara mengutarakan maksud kedatangnnya bahwa “Anakda Baco lulus Ujian di Perguruan Tinggi Negeri.” Betapa gembiranya Baco dan seluruh keluarga mendengar berita itu. Tiba-tiba sekujur tubuh Baco dan keluarga kaku, ketika Pamannya mengatakan bahwa pada malam ini juga, saya akan mengantar Baco ke Kendari karena dia lulus di Universitas Haluoleo. “Malam ini?” kata ibu. Seakan hampir tak percaya. “Betul, karena sebelum saya ke sini, saya singgah mengambil tiket kapal ke Kendari,” Jawab Paman. Pada malam itu, keluarga Baco seakan diselimuti rasa sedih dan suka. Keluarga merasa sulit melepaskan Baco kuliah ke Kendari, Baco adalah laki-laki pengganti ayahnya yang melindungi ibu dan adik-adiknya. Mereka pula tidak pernah berpisah jauh sebelumnya. Jangankan ke Makassar terasa sulit, apalagi ke Kendari yang mempunyai jarak sangat berjauhan. Perjalanan bisa ditempuh sampai ke sana setelah menyeberangi  lautan. Lama perjalanan satu malam, satu hari. Kita  dapat melakukan perjalanan memakai kapal laut selama satu malam dan mengendarai mobil selama satu hari.
Dengan berat hati, Ibunya  memasukkan baju anaknya ke dalam tas. Tangis pun tak dapat dibendungnya, bahkan adik-adiknya pun turut mencucurkan air mata. Baco berpamitan dan berjabat tangan seraya meminta supaya Ibundanya dan adik-adiknya mendoakan agar selamat dalam perjalanan dan tinggal di negeri orang.

Pada malam itu, Baco meninggalkan rumah, keluarga, sahabat dan kampunya yang tercinta. Selama dalam perjalanan dia lebih banyak mengenang hal-hal yang pernah dilalui bersama keluarga maupun sahabatnya di kampung. Apalagi di kapal ferry diputar lagu Teluk Bayur. Lagu ini seakan memperdalam ingatan kembali tentang suka-duka, canda dan tawa segenap keluarga dan keramahan alam pedesaannya.

Di Kendari, Baco tidak mempunyai sanak famili dan kenalan. Setibanya di sana dia bersama pamannya yanag mengantar mencari asrama atau rumah kost yang biasa disewa oleh mahasiswa. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia sudah mendapatkan rumah kost yang tidak jauh dari kampus. Di rumah kost itulah dia melewati hari-harinya dalam mengikuti perkuliahan. Perhatian Baco tidak pernah terlepas pada perkuliahan. Dia selalu mengingat pesan orang tuanya. Bahkan terkadang malam Minggu yang disuguhi dengan acara lulo (acara muda-mudi khas Kendari) lewat tanpa ada kesan, Baco menghabiskan malam Minggu tidak seperti teman-temannya yang lain, selalu menunggu malam Minggu.

Tak terasa tiga tahun terlewatkan. Pada suatu hari, dia memprogramkan mata kuliah Menulis yang diasuh oleh salah seorang dosen yang dikenal sangat killer. Dosen ini lebih lazim dipanggil oleh mahasiswa dan warga kampus dengan panggilan Pak Kumis. Sebutan ini sebenarnya bukan nama aslinya. Sebutan ini dikarenakan dosen itu rajin memelihara kumis hingga panjang. Tak satu pun warga kampus yang  memiliki kumis sepanjang dengan kumisnya.

Baco tak pernah menduga dan menyangka kalau mata kuliah  yang dianggap mudah, disukai dan menyenangkan baginya untuk dipelajari itu, ia tidak pernah lulus dan selalu error setiap kali diprogramkan. Betapa tersiksa hatinya sebab untuk memprogramkan PPL maka ia harus melulusi semua mata kuliah wajib termasuk mata kuliah Menulis. 

Pada suatu malam, dia tidak bisa memejamkan matanya. Dia selalu berpikir bagaimana  cara supaya  bisa lulus dalam mata kuliah Menulis. Dia mencoba melakukan pendekatan kekeluargaan, Jangan sampai dosen tersebut masih bisa diluluhkan hatinya. Besok hari, dengan modal uang belanja yang tersisa  di dompet sebanyak Tiga Puluh Ribu Rupiah, ia pergi ke pasar untuk membeli kepiting, Ia membawakannya ke rumah Pak Kumis.  Sesampai di depan rumah, ia dengan ramah memberikan salam kepada Pak Kumis yang sedang membersikan rumput di depan rumah. “Assalamu Alaikum,”  ”Assalamu Alaikum,” “Assalamu Alaikum, “ ucap Baco tiga kali. Tak satu pun salam dijawab. Baco berdiri agak lama di luar pintu gerbang tanpa dihiraukan oleh Pak Kumis. Tiba-tiba istri dosen tersebut keluar dan mempersilahkan masuk. Baco masuk dan duduk di teras. Istri dosen itu serius membaca surat kabar. Dia tak pernah angkat bicara sepata kata pun dan keberadaannya tak diperdulikan.

Menjelang malam hari setelah adzan Magrib, Pak Kumis masuk ke rumahnya lewat pintu belakang. Dia memanggil istrinya dan berkata, “Tanya mahasiswa di luar, kalau dia datang ke sini urusan rumah selesaikan di rumah, tapi kalau urusan kampus selesaikan di kampus, suruh tunggu di kampus besok pagi!”  Akhirnya si istri keluar kembali dan mengatakan hal itu kepada Baco. Baco tidak melihat dan menyadari kalau pengingkat kepitingnya lepas sehingga satu diantaranya  lari masuk ke rumah Pak Kumis. Malu untuk menangkapnya sehingga dibiarkan begitu saja dan yang lainnya tetap disimpan di teras rumah. Dia sudah tidak enggang membawanya pulang. Kepiting itu dibeli dan niatkan untuk diberikan kepada Pak Kumis. Sedikit pun dalam hati Baco tidak tersimpan rasa kejengkelan.

Besoknya, dia ke kampus menunggu Pak Kumis, sebagaimana janjinya kemarin,  tapi dosen tersebut tidak muncul. Satu minggu Baco selalu menunggu Pak Kumis. Betapa kecewanya karena Pak Kumis  tak pernah muncul batang hidungnya. Dalam hati “kok, kenapa dia membenci dan dendam kepada saya, padahal seingatnya, ia selalu berperilaku baik kepada dosen tersebut.” Menurut teman-temannya yang senasib bahwa Pak Kumis itu sukuisme, apalagi Baco adalah orang Bugis. Dilihat dari namanya saja jelas nama orang Bugis. Baco tetap menepiskan anggapan demikian teman-temannya.

Tak habis pikir kira-kira bagaimana cara untuk meluluhkan hati dosen tersebut. Akhirnya dia mencoba memainkan sandiwara, Pada suatu hari ia bertanya kepada mahasiswa lain yang kebetulan adik tingkatnya. “Kapan dosen Mata Kuliah Menulis masuk memberikan kuliah pada mahasiswa tingkat III?” “Oh. Besok kak.” jawab mahasiswa tersebut. Besok pagi-pagi dia sudah bersiap-siap akan ke kampus, tujuan ini berbeda dengan tujuan sebelumnya. Dia tidak akan menunggu lagi Pak Kumis. Pada pagi itu. ia melihat Pak Kumis  mengendarai sebuah motor GL. Setelah motor diparkir, Pak Kumis menuju ke gedung A lantai II untuk memberikan mata kuliah pada mahasiswa semester III.

Dengan cepat Baco mencabut  pagar bambu yang ada di dekat tempat parkir. Dia mencabut satu paku di pagar bambu dan kemudian dia menusuk ban motor belakang  Pak Kumis. Paku itu tidak dicabut dan dibiarkan menancap di ban belakang motor. Walaupun dalam hatinya berkata bahwa apa saya sedang lakukan merupakan kesalahan besar dan dosa, tetapi apa boleh buat suatu keterpaksaan. Selanjutnya Baco menuju ke gedung B lantai II untuk memudahkan memantau perkembangan jika Pak Kumis sudah selesai memberikan kuliah. Berselang satu jam kemudian, dosen tersebut keluar dan diikuti turun oleh mahasiswa tingkat III. Semua mahasiswa sudah berpisah satu sama lainnya tanpa ada lagi yang memperhatikan Pak Kumis. Pak Kumis langsung mengambil motornya di tempat parkir motor. Baco masih sempat melihat sang dosen  menaiki motor,  tetapi ketika dia mulai menjalankan, terasa ban belakang oleng. Pak Kumis  turun dan memeriksa ban motor dengan teliti. Dia mendapatkan satu paku yang menancap di ban motornya.

Dari kejauhan, Baco memperdengarkan langkah kakinya, namun tak pernah dihiraukan Pak Kumis.  Memang selama ini, dia dikenal sangat cuek. Baco mendekat dan menyapa, “Assalamu Alaikum, kenapa motornya, Pak?” Dengan berat mulut dosen itu menjawab, “Bannya bocor, ini ada pakunya yang melengket”. “Jadi bagaimana caranya, Pak? jangankan pres  ban, pompa pun tidak ada di kampus”? pura-pura Baco bertanya. “Itulah yang membuat saya bingung” kata dosen tersebut.  “Begini saja Pak, kalau bapak tidak keberatan, bapak naik mobil saja ke luar kampus dan menunggu saya.” “Saya akan mendorong motor bapak” ucap Baco. “Oh, terima kasih kalau begitu, saya tunggu di luar ya”! kata Pak Kumis.  Pak Kumis itu naik mobil dan Baco pun mulai mendorong motor sang dosen. Jarak antara kampus dengan jalanan luar kira-kita ada satu kilometer. Tetapi bukanlah hal itu yang dipikirkan Baco, yang dipikirkan adalah bagaimana cara supaya Pak Kumis yang killer dan keras itu bisa luluh hatinya. Baco berusaha mengeluarkan keringat agar hati dosen terharu melihatnya jika dia sudah sampai, tetapi usaha tersebut gagal, Baco melihat ada air di selokan. Tanpa pikir panjang Baco mengambil dan membasahi bajunya dengan air selokan  agar seperti dia mandi keringat. Semua hal ini untuk memancing rasa haru sang dosen.

Setibanya di bengkel Pak Kumis tersenyum-senyum gembira. Tak lama kemudian setelah  ban motornya selesai ditambal, Pak Kumis memberikan uang sewa mobil sebanyak Rp. 500. Baco menolak, tetapi dosen itu tetap memaksa sehingga dengan berat berat hati, ia menerimanya. “Terima kasih, Pak”, ucapnya. Dosen itu pun mengendarai motornya pulang. Dalam hati Baco mungkin dosennya itu sudah bisa memperhatikannya kembali.

Hari-hari berlalu, dengan tekun ia mengikuti mata kuliah tersebut, kehadirannya hampir dikatakan seratus persen, semua tugas-tugas diselesaikan dengan baik, tak satupun diktat atau buku yang diberikan oleh Pak Kumis tersebut ia tak beli. Bahkan  keramahan dan kesopanan selalu ia perlihatkan kepadanya. Kegiatan organisasi kampus pun telah ia tinggalkan.

Satu semester hampir berakhir, tibalah waktu  untuk ujian semester. Baco sudah belajar keras dan mempersiapkan diri. Ia tak mau gagal, sebab ia sudah memprogramkan PPL. Kalau ia tidak melulusi mata kuliah itu untuk semester ini, maka ia mengalami kegagalan, ia tidak bisa keluar untuk mengikuti PPL di sekolah-sekolah seperti teman lainnya.

Berselang satu bulan, keluarlah nilai semua mata kuliah, betapa kecewa hati Baco karena mata kuliah yang diharapkan mendapat nilai tinggi ternyata ia tidak lulus lagi. Keringat dingin bercucuran di sekujur tubuh Baco. Walaupun demikian tak secuil  pun rasa benci di hatinya, ia tak menyimpan dendam.

Sepulang ke rumah ia langsung mengambil air wudhu dan shalat. Dia meminta doa kepada Tuhan agar diberikan petunjuk atau jalan yang lurus agar ia dapat cepat menyelesaikan kuliahnya, sebagaimana harapan orang tuanya yang sudah lanjut usia di kampung. Pagi-pagi ia bangun dengan perasaan dan pikiran yang bersih. Tiba-tiba  tukang pos datang dan singgah di depan asramanya. Tukang pos itu menanyakan nama Baco,yang ternyata namanya sendiri. “Dalam hatinya, pasti surat penting untukku,” namun  masih tanda tanya, Siapa pengirimnya? Betul sekali dugaannya kalau surat itu dari kampung dan sifatnya sangat penting sekali. Memang orang tuanya jarang sekali mengirimkannya surat. Surat itu dikirim  dari kampung. Pengirimnya adalah tante yang serumah dengan orang ibundanya di kampung.

Kalimat demi kalimat, kata demi kata dibaca, tak terasa satu persatu air mata bercucuran. Ia tak dapat lagi membendung air matanya. Air mata Baco membasahi surat, “Oh, Tuhan, kenapa cobaan ini selalu Kau berikan kepada-Ku, hamba-Mu belum menyelesaikan kuliahnya  Engkau telah memberikan cobaan lagi yang hampir tak dapat kujalani, “Ucap dalam hatinya. Kemarin ia tidak lulus ujian, hari ini mendapat surat bahwa harus segera pulang karena orang tuanya yang sudah lanjut usia sedang sakit keras. Ibundanya  mungkin sangat sulit dapat tertolong lagi. Lama ia berpikir bagaimana caranya untuk pulang, uang belanja pun sudah habis apalagi untuk  transportasi pulang kampung.

Pada pagi itu, matanya masih merah dan membengkak, ia mempersiapklan diri pulang kampung. Semua ini karena bantuan temannya yang meminjamkan uang untuk sewa mobil dan kapal laut. Satu hari, satu malam dalam perjalanan, maka tibalah ia di kota. Selanjutnya Baco mengambil mobil jurusan ke kampung. Tak sedikit orang dia kenal di mobil tersebut, tetapi semuanya membisu tanpa satu patah kata, lebih banyak hanya menatapnya. Semua ini membuatnya heran dan bertanya dalam hati, “Kenapa orang-orang berperilaku demikian kepada saya?

Suatu hal  yang hampir ia tak percaya, tak jauh dia melihat ada sebuah tongkat berbendera putih tepat di depan lorong rumahnya. Hatinya tersentak kaget dia hampir tak dapat menahan detak jantungnya. Setelah dia turun dari mobil, dia melihat banyak orang berkerumun di kolom rumah termasuk semua sanak keluarga, tetangga dan sekampung. Tangis saudara-saudaranya terdengar dari atas rumah.  Tak perduli  lagi Baco melepaskan tas pakaian dan berlari ke atas. Dia dijemput dengan pelukan dan tangisan yang lebih keras lagi. Ternyata Ibundanya yang tercinta sudah tiada lagi untuk selama-lamanya. Baco tak sempat lagi bersujud meminta maaf jika selama ini dia menjadi beban besar bagi ibundanya. Begitupula kesalahan-kesalahan atau dosa yang pernah diperbuat kepada Ibundanya. Dalam tangisannya hatinya sempat bertanya, “Mengapa Ibunda tidak memberitakan kalau selama ini  sedang sakit keras.” “Mungkin semua itu dilakukan agar saya tidak terganggu pikiran dalam kuliah, “ Jawab kembali dalam hatinya.

Sebelum Ibundanya meninggal dunia, melepaskan nafas terakhirnya ia masih sempat menitipkan pesan lewat tantenya untuk anandanya yang tercinta Baco, “Janganlah disesali kepergian ibu, ibu sedang dipanggil oleh Tuhan yang Maha Kuasa, kalau Tuhan mengisinkan kita tetap akan bertemu kembali, sekarang ananda  menyelesaikan kuliahnya cepat, berbakti kepada bangsa dan negara, ibunda menitipkan  adik-adikmu, hanya doamulah yang aku minta setiap saat, setiap melakukan shalat lima waktu. kebahagiaan dan ketenangan ibu jika engkau menjadi anak yang saleh.”

Semenjak ibundanya telah tiada, dia seakan tidak mempunyai semangat hidup lagi, lebih-lebih semangat untuk kuliah. Hari-hari berlalu dia lewati begitu saja di kampung tanpa ada keceriaan, keluar rumah pun jarang sekali. Pada suatu malam, ia tertidur pulas, ia sangat capek setelah ia pulang membersihkan kuburan ibundanya. Pada malam itu, dalam tidurnya, ia didatangi oleh ibundanya dengan wajah yang sangat menyedihkan, Baco sangat kasihan melihat ibundanya demikian. “kenapa ibu seperti itu, tidak seceriah dulu?” kata Baco dalam mimpi.  “Saya sedih karena ananda selalu bersedih dan tidak mempunyai semangat hidup lagi, lebih-lebih kuliah, ananda campakkan harapan ibunda satu-satunya di pinggir Teluk Bayur, dulu kulepaskan dan kuharap engkau akan pulang dengan membawa hasil, membuat ibunda dan keluarga tertawa senang dan gembira.” Tiba-tiba Baco tersentak dan terbangun dari tidurnya. Dia merasa seakan bukan sebuah mimpi. Ia baru menyadari setelah memperbaiki ingatannya kembali. Ternyata ibundanya sudah lebih satu bulan berada di kuburan, sudah malam ke empat puluh.

Besoknya ia menceritakan semua apa yang dimimpikan kepada adik-adiknya. Mulai saat itu, dia merasa ada semangt hidup kembali. Dia menasihati adik-adiknya juga. Dia menyampaikannya juga bahwa besok dia akan pulang ke Kendari untuk menyelesaikan kuliahnya. Jadi pada malam itu, adik-adiknya membuatkan kue-kue alakadarnya untuk dimakan kakaknya dalam perjalanan di kapal.

Dengan perasaan sedih dan berat sekali meninggalkan adik-adiknya di rumah.  Ia pun berangkat. Tangis pilu tak dapat dibendung, apalagi ia teringat pada ibundanya ketika pertama kali ia akan ke Kendari bersama pamannya dulu. Satu kalimat terakhir adiknya, ketika ia akan berangkat, “Jangan lupa saya dan pulang, kak, jika kakak sudah berhasil nanti, kudoakan selalu kak!”

Dalam perjalanan menuju ke Kendari, tiba-tiba ada seorang pengedara motor yang jatuh dari motornya. Semua penumpang dalam mobil itu merasa kaget, mungkin pengendara motor itu sudah lama jatuh di situ, tapi tak ada orang yang menolongnya. Akhirnya Baco meminta sopir mobil itu berhenti. Setelah berhenti dia turun dan memeriksa orang tersebut, ternyata orang itu  masih hidup. Alangkah terkejutnya karena si korban tersebut tak lain dan tak bukan adalah dosennya sendiri yakni Pak Kumis yang selama ini yang tidak pernah dilulusi mata kuliahnya. Pada waktu itu Baco tidak merasa dendam, malah sebaliknya. Baco meminta supaya sopir mobil mau membawa si korban ke rumah sakit yang terdekat. Dengan terpaksa  dan sedikit memaksa akhirnya, sopir itu memenuhi permintaan si penumpang tersebut. Sesampai di rumah sakit, dia membayar sewa mobil tiga kali lipat sesuai  perjanjian dengan sopir mobil sebelum dosen itu dinaikkan di mobil.

Baco menghubungi keluarga sang dosen di kota, bahwa Pak dosen telah mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang dari kampungnya di Kolaka. Tak lama kemudian semua keluarganya berdatangan termasuk teman-teman mengajar Pak Kumis. Baco turut menjaganya bahkan ia belum pernah sampai di rumahnya. Tiga hari-tiga malam Pak Kumis tidak pernah sadarkan diri. Nanti malam ke lima dosen itu mulai siuman. Semua keluarga gembira termasuk Baco. Baco menghampiri dosennya itu dan menceritakan kejadiannya. Dosen itu sangat berterima kasih kepadanya. Tak lama kemudian dosen itu meminta supaya dimaafkan, katanya jangan sampai diantara kita ada dosa-dosa sering kita lakukan, “Pada hari ini, saya ingin minta maaf kepada Baco jika selama dalam kegiatan mengajar saya di kampus ada kesalahan atau kehilafan sekecil-kecilnya, kiranya dapat dimaafkan”. Baco sangat terharu akan ucapan dan jabat tangan Pak Kumis, ia tidak pernah melihat dosennya selembut itu. “Apakah itu suatu tanda bahwa dosen itu sudah luluh hatinya kepada saya atau tanda bahwa ia tidak lama akan meninggalkan sanak keluarganya?”

Tidak berselang lama tiba-tiba dosen itu kejang-kejang dan “selamat tinggal untuk semua sanak keluarga.”  Dosen itu pun meninggal dunia. Pada malam itu juga, dia di bawah ke rumah duka dan besok hari akan dikuburkan. Pada hari itu kampus kehilangan warga yang disegani oleh mahasiswa maupun dosen atau pejabat-pejabat universitas. Dosen itu, selain mengajar juga sebagai Ketua Program Studi. Jadi wajarlah kalau selama ini dia bersikap demikian kepada mahasiswanya.

Baco aktif kembali kuliah, pada suatu hari dia dipanggil oleh Ketua Program Studi yang baru bahwa Bapak berpesan sebelum  dia pulang kampung dan sebelum mendapat kecelakaan bahwa   “Tak perlu ada  mata kuliahnya yang kau ulangi termasuk mata kuliah yang kau tidak lulusi, sebenarnya diarsip Bapak sudah diberikan nilai A semua.  Insya Allah berdoa saja, kamu dipromosikan oleh Bapak untuk menjadi tenaga pengajar fakultas ini.” Betapa gembira dan senangnya bahwa selama ini dia tidak mengetahui kalau Pak Kumis yang dianggap killer dan kejam sangat memperhatikannya dan terlalu baik baginya, Selama ini dia salah sangka. Baco  merasa sangat berdosa kepada Pak Kumis. Lama ia termenung di depan Ketua Program Studi yang baru.  Tak terasa di depan matanya ia melihat langsung dosen itu yang sudah meninggal dunia. Baco pun tak dapat menahan rasa harunya hingga dua, tiga butir air matanya jatuh tepat diujung sepatunya. Tiba-tiba, ia tersentak dan sedikit agak malu kepada mahasiswa lain yang melihatnya. Baco pulang ke rumah melakukan shalat dan memohon kepada Tuhan agar arwah Pak Kumis dapat diterima disisi-Nya dan segala amal baiknya dapat dilipatgandakan pahalanya. 

Satu tahun kemudian setelah ia menyelesaikan kuliahnya, ia pun diangkat menjadi tenaga pengajar di fakultas. Tak lupa adik-adiknya diambil dari kampung sebagaimana pesan ibundanya. Mereka hidup rukun damai, sejahtera. Setiap kali shalat ia tak lupa mengirimkan doa kepada kedua orang tuanya dan dosen tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar